Podjok: Dulu, Ia Bernama Kampung Akuarium

15.33

https://delianisiregar.blogspot.co.id/2017/10/podjok-dulu-ia-bernama-kampung-akuarium.html

"Rumahku yang itu..."

Mengisi akhir pekan yang seperti biasa didorong oleh rasa penasaran yang kuat membawaku pada sebuah area ex-permukiman di utara Jakarta ini. Kali pertama langkah kaki menggiring ke area perkampungan nelayan ini, aroma amis ikan bercampur sampah basah menyeruak dari balik rumah-rumah non-permanen itu. Tak berapa jauh dari 'gerbang masuk', aku dan beberapa rekan berjalan-jalanku menemui pemandangan ini. Dua orang anak yang tengah bermain dan berlari-larian di antara puing-puing rumah yang salah satunya kemungkinan besar bongkahan dari dinding rumah mereka dulu.
Beberapa waktu sebelumnya aku dan seorang rekan pernah mengunjungi bagian utara Jakarta. Sayang kami saat itu tak menyempatkan diri 'mampir' ke kawasan ini. Rute perjalanan kami saat itu berhenti di Museum Bahari dan Menara Miring Syahbandar. Mungkin bila saat itu kami sempat berkunjung ke kampung yang letaknya sangat berdekatan dengan Museum Bahari ini, beberapa foto Kampung Akuarium mungkin bisa aku bagi di laman ini. Sayang.


Bila kalian sudah membaca tulisan pendekku tentang Kalijodo, kalian tak akan sebegitu kagetnya bila mendengar kata penggusuran Kampung Akuarium. Hampir serupa dengan Kalijodo, penggusuran Kampung Akuarium sempat menyita sorot kamera di tahun 2016. Menjelang pemilihan umum gubernur DKI Jakarta, kampung ini menjadi permata dalam lumpur. Ceritanya diulang-ulang di banyak artikel, di banyak media, mendapatkan beragam janji, dan lain sebagainya. Eits, jangan buru-buru kabur karena tulisanku tak akan membahas persoalan itu. Aku hanya akan menceritakan area ini sebagaimana aku biasanya bercerita.



Pada hari itu, aku bersama beberapa rekan turun di stasiun Jakarta Kota dan memilih berjalan kaki melewati Kali Besar ke arah Museum Bahari. Tak seberapa jauh dari Museum Bahari, mengikuti jalan beton yang menyajikan pemandangan tumpukan sampah di ujungnya membawa kami ke jalan yang lebih kecil dan sampailah kami di muka depan Kampung Akuarium yang kini tinggal puing-puing yang di atasnya dapat dijumpai beberapa rumah dan tenda non-permanen yang digunakan beberapa orang untuk tinggal kembali di area tersebut sebagai bentuk protes dari penggusuran yang tak kira-kira. Begitu setidaknya menurut mereka.

Dari hasil 'jelajah' kami, pun jelajah ku beberapa kali setelahnya (karena faktanya setelah kunjungan pertama itu, aku sempat tiga atau empat kali berkunjung kembali untuk berjalan-jalan dan naik perahu), kawasan ini belum jua dibangun dan/atau dibersihkan dari puing-puing bekas pembongkaran bangunan. Beberapa aktivitas nelayan masih bisa dijumpai di sini dan tentu saja aktivitas ibu-ibu yang berdagang makanan atau sekedar menjemur dan mengasinkan ikan. Ikan yang tengah 'berjemur' yang tak banyak itu tak lagi menjadi barang dagang tapi hanya berujung pada wajan penggorengan pribadi yang akhirnya lenyap ditelan perut kelaparan sendiri.


Tak kunjung membaik. Begitu kata salah satu bapak yang kami jumpai saat tengah akan berlayar bersama perahunya untuk sekedar mencoba bertualang di laut Jakarta sambil menyusur kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekaligus mencari foto-foto kapal yang tengah bersandar. Beliau menunjuk beberapa perahu yang berada di sebelah kiri kami sambil berujar bahwa rekan-rekannya yang tak membangun rumah non-permanen yang tak juga menerima berpindah ke rusun itu akhirnya bermukim di atas perahu mereka masing-masing.

"Tapi jangan dipanggil manusia perahu ya, Neng. Sedih kami kalau dengar itu."


Tak berhenti pada peliknya bagaimana akses atas hunian layak dan air bersih, isu besar lain yang siap 'menerkam' mereka adalah reklamasi teluk Jakarta yang kali ini naik level ke tingkat nasional. Sempat terjadi moratorium pembangunan pulau buatan, pemerintah pusat 'ujug-ujug' mengambil alih dan mencabut moratorium. Beberapa artikel terkait dengan reklamasi di utara Jakarta bisa kalian cari di media massa nasional baik cetak maupun online. Atau kalian juga bisa simak salah satu video dokumenter yang aku pikir terkemas apik milik Watchdoc berjudul "Rayuan Pulau Palsu" yang menggambarkan betapa besarnya 'ring pertarungan' itu tersaji di tengah hamparan laut di utara Jakarta.

Ancaman bertubi-tubi datang pada warga kampung ini. Kali ini menyasar ke kantong. Kantong perut dan kantong pendapatan. Mayoritas penduduk yang bermatapencaharian utama sebagai nelayan mulai kelimpungan. Akibat pengerukan, peta pencarian ikan berubah. Ikan tak lagi banyak dijumpai di dekat tempat tinggal mereka. Untuk melaut mereka bahkan harus menabung supaya cukup membeli solar hingga dapat melaut lebih jauh demi ikan yang lebih banyak (meski tetap tak sebanyak dulu). Tak jarang beberapa nelayan yang tak sanggup membeli solar guna mencari ikan, memilih menjadi buruh atau kuli harian untuk makan baik untuk dirinya pun anak dan istrinya. Ikan yang tak banyak didapat nelayan juga ujung-ujungnya tak sampai ke pasar ikan sebab sudah terhidang di piring keluarga kecil mereka. 

Pemetaan prioritas haruslah menjadi dasar pentahapan rencana dan implementasinya. Bagaimana bisa sebuah kota menganaktirikan penduduk kotanya demi sebuah 'iming-iming' kehidupan menengah atas di hamparan pulau-pulau buatan tersebut. Sementara sekelompok penduduk dirisaukan dengan persoalan intrusi air laut sehingga mereka kesulitan mendapatkan akses atas air bersih, kota malah sibuk 'menciptakan' wahana bermain baru yang siap bersamanya pipa-pipa penyaluran air bersih yang bagi siapa saja orang yang sudah membayar atau membeli properti di pulau-pulau yang belum lagi ada wujudnya itu. Berbicara masalah pulau, bukan sekali dua kali anak pulau di Kepulauan Seribu mengeluh ini dan itu merasa tak menjadi bagian dari Jakarta dan kini Sang Ibunda tengah mempersiapkan 'anak-anak pulau' lainnya yang mungkin kali ini berbeda 'kelas'.

Ayolah. Terdapat banyak referensi studi tentang reklamasi yang dapat dibaca yang juga dapat dibuat bahan mengulas kembali arah pembangunan kota atau bahkan negara kita. Bukan saatnya lagi membangun atas kepentingan sekelompok orang dan abai pada sekolmpok orang lainnya. Tak bisa menyenangkan semua pihak itu keniscayaan, tapi buat apa kota itu ada bila bukan untuk manusia di dalamnya. Dalam perencanaan dan implementasinya, kami mengenal skala prioritas dan kami membenci NIMBYS. Peka-lah. Definisikan siapa yang disebut warga. Jangan sampai perkara satu dua investor warga disebut pendatang dan pendatang disebut sebagai potensial warga pendorong pembangunan (dan ekonomi).

Apakah ini sebuah babak baru ketika sang Ibu menjadikan anak kandung sebagai anak angkat dan menaikkan pangkat anak angkat menjadi anak kandung (?)

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

How To Contact Me

Chat me! IG (@anggsiregar) and/or send me email to delianipsiregar@yahoo.com

Friends'